Description:PENULIS buku ini termasuk seorang tapol yang mujur dalam arti memiliki kesempatan menulis buku harian selama beberapa tahun (1966—1971). Ketika itu ia bersama ratusan tapol lain dijadikan romusa modern melakukan kerja rodi di daerah Banten dalam proyek Angkatan Darat yang disebut ‘Operasi Bhakti Siliwangi’. Kesempatan menulis buku harian merupakan barang langka, bahkan suatu kemewahan bagi seorang tapol G30S. Pena, kertas, buku, informasi, dan perangkat peradaban modern lain merupakan musuh besar bagi rezim penindas jika jatuh ke tangan mereka yang dianggap lawan politiknya. Karenanya tidak aneh jika dalam tempo singkat suratkabar dari periode 1965—1966 raib dari perpustakaan, kurang dari satu dekade hilanglah seluruh sumber tertulis mengenai PKI, semuanya dikuasai pihak militer (Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan [1965—1966], 2000:62, 72). Rezim orba yang oleh Daniel Dhakidae disebut sebagai neo-fasisme militer (Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, 2003:xxxiii) hendak memonopoli informasi, dengan begitu berupaya memonopoli kebenaran tunggal versinya sendiri.Sebagai tapol, Ir. Djoko Sri Moeljono sadar buku harian yang ditulisnya mengandung risiko. Dengan demikian ia secara sadar pula menerapkan berbagai kiat berkelit. Sebagian catatan itu dibuatnya dalam bahasa Rusia dengan huruf Kiril, juga dengan huruf Jawa dalam bahasa Jawa, sesuatu yang cukup langka dikuasai orang. Selanjutnya secara berangsur dikirimkannya melalui saudara kandung yang menjenguknya untuk disimpan bersama buku-buku koleksi miliknya yang sebagian masih dapat diselamatkan. Dengan masygul ia mencatat ketika melihat sebuah buku tebal kamus teknik miliknya dijadikan ganjal kursi jaksa yang memeriksanya, “Ia seorang terpelajar bergelar sarjana hukum, tetapi belum berbudaya.”Ketika menjadi mahasiswa di ITB Bandung, ia memasuki CGMI yang digolongkan sebagai mantel PKI dengan pertimbangan sederhana, tidak ada perploncoan. Ketika ia memilih studi ke Moskwa dalam jurusan metalurgi, hal itu pun dilakukannya dengan pertimbangan lugas, pabrik baja pertama Indonesia di Cilegon dengan bantuan dan teknologi Uni Soviet. Tidak ada pertimbangan dan semangat politik atau ideologi yang menggebu sebagai yang menjadi kecenderungan umum masa itu sebagai respons terhadap retorika politik kebangsaan Presiden Soekarno. Sekalipun demikian, penulis ini tetaplah penuh dengan semangat idealisme menimba ilmu yang akan berguna bagi tanah air tercinta. Semangat semacam itulah yang terus-menerus dipeliharanya dalam bertahan hidup selama 12 tahun sebagai tapol di tahanan, kerja rodi, dan pembuangan dalam ketenangan dan solidaritas tinggi terhadap sesama tapol sebagai yang menjadi bagian watak pribadinya. Dalam pada itu, pihak penguasa, atau teman sesama tapol, mungkin sekali menganggap dirinya sebagai kader baru bawah tanah PKI, ketika banyak kader resmi berkhianat seperti disinyalir Carmel Budiardjo (Bertahan Hidup di Gulag Indonesia, Kuala Lumpur, 1997:25, 44). Ia menjadi anggota SBBT Cilegon beberapa bulan sebelum meletusnya G30S, ia bukan anggota resmi ataupun anggota ilegal PKI, bahkan ia pun bukan penganut Marxisme. Pernyataan ini tidak ada urusannya dengan pemaafan, pujian, atau memandang rendah. Kenyataan itu merupakan salah satu petunjuk penindasan yang dilakukan rezim yang berkuasa dilakukan terhadap seluruh elemen yang dianggap membahayakan dirinya.Bagi banyak aktivis organisasi (kiri), dipenjarakan sebagai tapol bukan merupakan kejutan besar tanpa disangka, meskipun pembunuhan besar-besaran tetap merupakan hal yang tidak diperhitungkan bahkan oleh para petinggi PKI pun. Bagi para aktivis, hal itu merupakan risiko sikap politik yang dipilihnya. Sebaliknya, bagi penulis buku ini sesuatu yang tak pernah terlintas di benaknya. Ia belajar, bekerja, belajar berorganisasi tanpa melakukan kalkulasi politik, tetapi lebih dibimbing oleh kata hati nurani tanpa pamrih apa pun kecuali ingin berbuat sebaiknya untuk negeri ini melalui kemampuan dan studinya. Di tengah kemelut tercemplung sebagai tapol pekerja rodi dengan nasib tidak menentu, ia masih sempat meneruskan hobinya untuk belajar bahasa Italia. Ia mengulang mimpi Italianya yang menjadi kenyataan ketika sedang studi di Moskwa, berkeliling ke berbagai pelosok Italia sebagai tamu kehormatan sejumlah keluarga pada suatu libur musim panas. Perjalanan gratis itu diorganisasikan oleh koran penting Italia, L’Unita sebagai tanggapan terhadap surat pembaca yang ditulisnya dari Moskwa. Di samping sempat melempar tiga koin di Fontana, di Trevi, Roma, ala film dan lagu romantis Three Coins in the Fountain, ia pun sempat didaftar sebagai anggota kehormatan Pemuda Anti Fasis. Mimpi pun berakhir, ia mendapati dirinya masih sebagai tapol…. Ia tak pernah menyesal akan keputusan-keputusannya, akan nasib yang menimpanya.Sekalipun studi dan pekerjaan penulis di bidang teknik, perhatiannya sangat luas pada bidang-bidang lain, ekonomi, politik, sosial, sejarah, sa...We have made it easy for you to find a PDF Ebooks without any digging. And by having access to our ebooks online or by storing it on your computer, you have convenient answers with Banten Seabad Setelah Multatuli : Catatan Seorang Tapol 12 Tahun dalam Tahanan, Kerja Rodi, dan Pembuangan. To get started finding Banten Seabad Setelah Multatuli : Catatan Seorang Tapol 12 Tahun dalam Tahanan, Kerja Rodi, dan Pembuangan, you are right to find our website which has a comprehensive collection of manuals listed. Our library is the biggest of these that have literally hundreds of thousands of different products represented.
Pages
—
Format
PDF, EPUB & Kindle Edition
Publisher
ULTIMUS
Release
2013
ISBN
6028331252
Banten Seabad Setelah Multatuli : Catatan Seorang Tapol 12 Tahun dalam Tahanan, Kerja Rodi, dan Pembuangan
Description: PENULIS buku ini termasuk seorang tapol yang mujur dalam arti memiliki kesempatan menulis buku harian selama beberapa tahun (1966—1971). Ketika itu ia bersama ratusan tapol lain dijadikan romusa modern melakukan kerja rodi di daerah Banten dalam proyek Angkatan Darat yang disebut ‘Operasi Bhakti Siliwangi’. Kesempatan menulis buku harian merupakan barang langka, bahkan suatu kemewahan bagi seorang tapol G30S. Pena, kertas, buku, informasi, dan perangkat peradaban modern lain merupakan musuh besar bagi rezim penindas jika jatuh ke tangan mereka yang dianggap lawan politiknya. Karenanya tidak aneh jika dalam tempo singkat suratkabar dari periode 1965—1966 raib dari perpustakaan, kurang dari satu dekade hilanglah seluruh sumber tertulis mengenai PKI, semuanya dikuasai pihak militer (Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan [1965—1966], 2000:62, 72). Rezim orba yang oleh Daniel Dhakidae disebut sebagai neo-fasisme militer (Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, 2003:xxxiii) hendak memonopoli informasi, dengan begitu berupaya memonopoli kebenaran tunggal versinya sendiri.Sebagai tapol, Ir. Djoko Sri Moeljono sadar buku harian yang ditulisnya mengandung risiko. Dengan demikian ia secara sadar pula menerapkan berbagai kiat berkelit. Sebagian catatan itu dibuatnya dalam bahasa Rusia dengan huruf Kiril, juga dengan huruf Jawa dalam bahasa Jawa, sesuatu yang cukup langka dikuasai orang. Selanjutnya secara berangsur dikirimkannya melalui saudara kandung yang menjenguknya untuk disimpan bersama buku-buku koleksi miliknya yang sebagian masih dapat diselamatkan. Dengan masygul ia mencatat ketika melihat sebuah buku tebal kamus teknik miliknya dijadikan ganjal kursi jaksa yang memeriksanya, “Ia seorang terpelajar bergelar sarjana hukum, tetapi belum berbudaya.”Ketika menjadi mahasiswa di ITB Bandung, ia memasuki CGMI yang digolongkan sebagai mantel PKI dengan pertimbangan sederhana, tidak ada perploncoan. Ketika ia memilih studi ke Moskwa dalam jurusan metalurgi, hal itu pun dilakukannya dengan pertimbangan lugas, pabrik baja pertama Indonesia di Cilegon dengan bantuan dan teknologi Uni Soviet. Tidak ada pertimbangan dan semangat politik atau ideologi yang menggebu sebagai yang menjadi kecenderungan umum masa itu sebagai respons terhadap retorika politik kebangsaan Presiden Soekarno. Sekalipun demikian, penulis ini tetaplah penuh dengan semangat idealisme menimba ilmu yang akan berguna bagi tanah air tercinta. Semangat semacam itulah yang terus-menerus dipeliharanya dalam bertahan hidup selama 12 tahun sebagai tapol di tahanan, kerja rodi, dan pembuangan dalam ketenangan dan solidaritas tinggi terhadap sesama tapol sebagai yang menjadi bagian watak pribadinya. Dalam pada itu, pihak penguasa, atau teman sesama tapol, mungkin sekali menganggap dirinya sebagai kader baru bawah tanah PKI, ketika banyak kader resmi berkhianat seperti disinyalir Carmel Budiardjo (Bertahan Hidup di Gulag Indonesia, Kuala Lumpur, 1997:25, 44). Ia menjadi anggota SBBT Cilegon beberapa bulan sebelum meletusnya G30S, ia bukan anggota resmi ataupun anggota ilegal PKI, bahkan ia pun bukan penganut Marxisme. Pernyataan ini tidak ada urusannya dengan pemaafan, pujian, atau memandang rendah. Kenyataan itu merupakan salah satu petunjuk penindasan yang dilakukan rezim yang berkuasa dilakukan terhadap seluruh elemen yang dianggap membahayakan dirinya.Bagi banyak aktivis organisasi (kiri), dipenjarakan sebagai tapol bukan merupakan kejutan besar tanpa disangka, meskipun pembunuhan besar-besaran tetap merupakan hal yang tidak diperhitungkan bahkan oleh para petinggi PKI pun. Bagi para aktivis, hal itu merupakan risiko sikap politik yang dipilihnya. Sebaliknya, bagi penulis buku ini sesuatu yang tak pernah terlintas di benaknya. Ia belajar, bekerja, belajar berorganisasi tanpa melakukan kalkulasi politik, tetapi lebih dibimbing oleh kata hati nurani tanpa pamrih apa pun kecuali ingin berbuat sebaiknya untuk negeri ini melalui kemampuan dan studinya. Di tengah kemelut tercemplung sebagai tapol pekerja rodi dengan nasib tidak menentu, ia masih sempat meneruskan hobinya untuk belajar bahasa Italia. Ia mengulang mimpi Italianya yang menjadi kenyataan ketika sedang studi di Moskwa, berkeliling ke berbagai pelosok Italia sebagai tamu kehormatan sejumlah keluarga pada suatu libur musim panas. Perjalanan gratis itu diorganisasikan oleh koran penting Italia, L’Unita sebagai tanggapan terhadap surat pembaca yang ditulisnya dari Moskwa. Di samping sempat melempar tiga koin di Fontana, di Trevi, Roma, ala film dan lagu romantis Three Coins in the Fountain, ia pun sempat didaftar sebagai anggota kehormatan Pemuda Anti Fasis. Mimpi pun berakhir, ia mendapati dirinya masih sebagai tapol…. Ia tak pernah menyesal akan keputusan-keputusannya, akan nasib yang menimpanya.Sekalipun studi dan pekerjaan penulis di bidang teknik, perhatiannya sangat luas pada bidang-bidang lain, ekonomi, politik, sosial, sejarah, sa...We have made it easy for you to find a PDF Ebooks without any digging. And by having access to our ebooks online or by storing it on your computer, you have convenient answers with Banten Seabad Setelah Multatuli : Catatan Seorang Tapol 12 Tahun dalam Tahanan, Kerja Rodi, dan Pembuangan. To get started finding Banten Seabad Setelah Multatuli : Catatan Seorang Tapol 12 Tahun dalam Tahanan, Kerja Rodi, dan Pembuangan, you are right to find our website which has a comprehensive collection of manuals listed. Our library is the biggest of these that have literally hundreds of thousands of different products represented.